Mewujudkan Semangat Ki Hadjar Dewantara di Era Digital

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang kita peringati setiap tanggal 2 Mei merupakan waktu yang tepat untuk merenungi kembali hakikat pendidikan di Indonesia. Tanggal ini dipilih untuk menghormati kelahiran Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional yang telah merintis konsep pendidikan yang membebaskan, memerdekakan, dan berakar kuat pada nilai-nilai budaya bangsa.
Di tengah gelombang besar digitalisasi yang menyapu hampir seluruh aspek kehidupan manusia, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: masihkah semangat Ki Hadjar Dewantara relevan? Jawaban saya, tidak hanya masih relevan, tetapi justru semakin mendesak untuk dihidupkan kembali, terutama dalam konteks pembelajaran abad ke-21.
Pendidikan yang Memerdekakan di Tengah Arus Teknologi
Ki Hadjar Dewantara menyampaikan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda, bukan sekadar transfer pengetahuan. Pendidikan harus menumbuhkan kemandirian, membangun karakter, dan menjadikan anak-anak sebagai subjek aktif dalam proses belajarnya. Prinsip "Tut Wuri Handayani" mengandung makna bahwa guru tidak mendominasi, tetapi mendampingi dan memberi ruang bagi anak berkembang.
Namun kenyataannya, di era digital ini, arus informasi begitu deras. Internet menyuguhkan berbagai sumber belajar, tetapi juga potensi distraksi yang luar biasa. Anak-anak lebih mudah mengakses konten hiburan dibandingkan materi pembelajaran. Budaya instan tumbuh, sementara daya tahan belajar dan literasi kritis melemah. Belum lagi ancaman disinformasi, cyberbullying, dan ketergantungan pada gawai yang kian marak.
Di tengah tantangan itu, pendidikan yang memerdekakan—yang mengajarkan anak berpikir kritis, bersikap bijak, serta mampu memilah informasi secara etis—semakin penting. Di sinilah peran guru menjadi sangat strategis. Guru bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, tetapi menjadi pemandu yang membentuk karakter dan kompetensi abad ke-21 seperti kreativitas, kolaborasi, komunikasi, dan berpikir kritis.
Menjadi Teladan di Tengah Era Disrupsi
Ki Hadjar mengajarkan bahwa guru harus “Ing Ngarsa Sung Tuladha”—di depan memberi teladan; “Ing Madya Mangun Karsa”—di tengah membangun semangat; dan “Tut Wuri Handayani”—di belakang memberi dorongan. Dalam konteks kekinian, teladan itu bisa bermakna luas: bagaimana guru bersikap di ruang digital, bagaimana mereka mendesain pembelajaran yang adaptif dan inklusif, hingga bagaimana mereka menunjukkan integritas, empati, dan kepedulian.
Guru masa kini dituntut tidak hanya menguasai pedagogi, tetapi juga melek digital. Transformasi digital dalam pendidikan tidak bisa dihindari. Namun digitalisasi tanpa visi pendidikan humanis hanya akan menghasilkan peserta didik yang canggih secara teknis tetapi miskin secara empatik dan etis.
Merdeka Belajar sebagai Jalan untuk Menyemai Semangat Ki Hadjar
Program Merdeka Belajar yang saat ini digaungkan pemerintah adalah bentuk ikhtiar untuk menghidupkan kembali semangat pendidikan ala Ki Hadjar. Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan bagi guru untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan siswa. Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) mendorong siswa memahami konteks sosial-budaya sekitarnya, berpikir kritis, dan berkontribusi pada komunitas.
Namun tentu saja, implementasi Merdeka Belajar di lapangan tidak semudah membalik telapak tangan. Masih banyak guru yang kesulitan beradaptasi karena minimnya pelatihan, keterbatasan akses teknologi, serta beban administratif yang menyita waktu reflektif mereka. Oleh karena itu, negara perlu lebih serius dalam mendukung penguatan kapasitas guru, bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara filosofis dan pedagogis.
Memadukan Nilai Lokal dan Teknologi
Sebagai guru di Aceh, saya melihat bahwa semangat pendidikan Ki Hadjar Dewantara sangat mungkin dihidupkan melalui pemanfaatan kearifan lokal. Nilai-nilai budaya Aceh seperti peumulia jamee, adab, gotong royong, dan semangat beut syedara bisa menjadi fondasi dalam membangun karakter peserta didik di tengah era digital. Pendidikan digital tidak boleh membuat siswa tercerabut dari akar budayanya.
Dengan memadukan teknologi digital dan pendekatan kontekstual lokal, kita bisa menghadirkan pendidikan yang relevan, membumi, dan sekaligus menjawab tantangan zaman. Di Aceh, ini bisa dimulai dari penggunaan media pembelajaran digital berbasis bahasa daerah, pembelajaran berbasis proyek di lingkungan sekitar, hingga literasi digital yang memperkuat identitas keacehan dan keindonesiaan.
Pendidikan sebagai Jalan Peradaban
Hardiknas 2025 harus menjadi momen untuk meneguhkan kembali bahwa pendidikan bukanlah proses mekanis, tetapi jalan membangun peradaban. Semangat Ki Hadjar Dewantara tidak boleh hanya menjadi slogan di dinding sekolah, tetapi harus diwujudkan dalam praktik pembelajaran yang memerdekakan, memanusiakan, dan memberdayakan.
Mari kita semua—guru, kepala sekolah, orang tua, pemerintah, dan masyarakat—bersama-sama menghidupkan kembali jiwa pendidikan sejati. Pendidikan yang tidak hanya mengejar angka, tetapi membentuk manusia berkarakter, berpengetahuan, dan berbudaya. Pendidikan yang tidak hanya adaptif terhadap zaman, tetapi juga berpihak pada masa depan kemanusiaan.
Oleh: Mudassir, S.Pd., Gr., M.Pd.
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Berita Lainnya :
- Ucapara peringatan hari pendidikan Nasional tahun 2025
- Potret Cerita Anak SD
- Simulasi UNBK Kelas 6 tahun 2025
- Monev oleh pengawas PAI, Ibu Farida Ariani
- Selamat Hari Buku Sedunia
Silahkan Isi Komentar dari tulisan berita diatas :
Komentar :
Kembali ke Atas